Rabu, 25 April 2012

0 puisi 1

kesunyian cinta

malam selalu memburuku
hingga ku terperangkap
dalam kesunyian yang pekat
setelah itu, langit
akan begitu bersemangat
menghajarku dengan tusukan-tusukan
cahaya bintang yang indah tapi perih
jagad raya pun lalu tertawa
melihatku terkapar
dalam gelisah yang akut
ya, semua seolah tau
aku membeku, diterjang badai kerinduan
tapi tak satu pun mau menjawab tanyaku,
adakah yang akan membawaku ke hatimu?
seperti saat kutemukan dirimu di nafasku

Maharasa Cinta

•October 8, 2007 • 2 Comments
Aku mengingatmu saat terbangun dari tidur malamku. Dan menghabiskan pagi untuk melukis manifesto kegelisahanku di atas kertas A4, yang kemudian berserak memenuhi kolong meja baca. Aku mengingatmu saat lelah menghampiriku. Dan menghabiskan malam untuk merajut puisi tentang misteri keberadaan, menambah jumlah file di folders puisi yang telah terlalu banyak untuk dihitung jumlahnya.
Aku masih bertanya tentang hal yang sama dengan kata-kata yang berbeda kepada teks di lembaran-lembaran buku filsafat yang berserak di lantai kamar, kepada teks di lembaran-lembaran kitab suci yang telah terlihat lusuh, atau kepada search di google, yahoo, dan lainnya.
Aku memujamu sebagai sebuah keajaiban yang selalu menyerang rasa ingin tau ku, logika berpikirku, ontologi-epistemologi-aksiologi kebenaranku, intuisi, firasat.
Aku mengugatmu dengan maharasa cintaku.

Air Mata di Taman Bunga 01

Merah pekat warna bunga. Ada tujuh matahari pagi
yang menghiasinya. Satu satu menghilang,
bersama embun yang menguap. Satu lagi menghias,
dari tetes air matamu. Tepat saat aku berdiri di sampingmu
Berlahan wajahmu menyambut tatapanku
Aku hanya mengedipkan mata lambat
Seuntai air kembali menetes di bunga itu,
saat lesung pipi menghias wajahmu
Telapak tangan kasarku berlahan membeku
dalam genggam jemarimu. Meski baru lalu
kuulurkan tangan, untuk mengerti bentuk rasa itu
Ada bola salju meluncur deras,
menghadirkan warna pekat dalam setiap ruang
yang dilewatinya. Tubuhku pun mengigil
Aku baru sadar, air mata itu
uap dari bola salju yang meluncur di bola matamu
Namun kulihat, tubuhmu tak menggigil seperti tubuhku
Betapa indah kamu menahan dingin di hidupmu
Betapa daya tahanku sama sekali rendah di hadapanmu
Aku hanya mengedipkan mata lambat
Berlahan kulepas genggam jemari
Ku satukan tubuh dalam dekapmu
Namun, lambat kau berbalik dan berjalan
Sutera putih melambai dihembus angin pagi
Dedaunan dan warna warni bunga menari sepi
Aku hanya diam merangkai harap, waktu
masih sisakan keindahan untuk kusapa di hari esok

Air Mata di Taman Bunga 02

Hidupku seperi batang batang kayu kering
Aku masih merasakan setiap perih
dari patahan patahan lalu. Atau rasa sakit
dari panas terik yang mengguyurku
Karena itu, aku tertawa
Setiap kali orang bercerita tentang dingin salju
Hari itu tawaku terhenti, tatapanmu keras
menampar wajahku, sekeras bola salju
yang meluncur di bola matamu
Perempuan indah
: memadamkan api dengan tatapannya
Perempuan baik
: menumbuhkan bunga di tanah kering
Perempuan biasa
: membuat seorang lelaki berdoa mengharapkannya
Lelaki tak pernah tau sepenuhnya
perempuan yang sedang dihadapi
Atau, itulah pemahamanku tentangmu
Ya, aku ingin memahami setiap gerakmu
menghargai setiap ucapmu
Meski tatapku kadang melihat pucat
matahari senja di sorot matamu
Tapi aku percaya, suatu saat itulah cahaya pagiku
Seperti cahaya pagi ini, yang memantulkan keharuman,
yang melukis bayang wajahmu tepat di wajahku

Air Mata di Taman Bunga 03

•September 29, 2007 • 1 Comment
Segala pemujaan kadang adalah penghinaan
Waktu bisa menjawab meski kadang bukan jawaban
Tapi kamu tak membutuhkan
Melangkah, menembus waktu yang kian pengap
: air mata menetes di tempat berpesona, di sana kamu berada
Seperti pagi ini, bunga bunga taman basah
Entah, karena air hujan, embun, atau air mata

Air Mata di Taman Bung

Tak sekalipun aku berhasil melukis wajahmu,
telah seribu pun aku gagal. Apalagi melukis air matamu
Jejak langkah lambatmu pun
tak tertangkap tanah basah pagi ini
Tidak pula di lain waktu
Tidak pula di catatan hidupmu
Dua puluh delapan Oktober tahun silam,
juga di taman tempat berdiri pagi ini
Wajahmu menghilang dari lukisan,
tubuhmu tak terlihat mataku, hanya tetes air mata
Dingin dan pekat seperti salju
Dan sepatah kata: Sejarah itu bisu dan kelam

Patah Hati

Berarti aku sedang bersedih
Lemah dan kalah, dan akan dibilang
Cowok kok cengeng
Itu bukan cengeng, tau
Taukah kau arti kata setia buat diriku
Setia itu satu, tak berubah
Ya, jatuh cinta hanya pada satu orang,
Seumur hidup
Jika kamu hidup selamanya,
dengan orang yang pertama kamu cintai
Alangkah bahagianya,
jika aku bisa seperti itu
Aku tidak diberi satu jalan cinta
Patah untuk yang pertama tentu sakit
Dan dua tiga kali pun akan menambah sakit
Karena satu semakin tercabik
Dan dirimu, tentu bukan yang pertama
Tapi patah darimu membuatku ingin mati saja
Maukah kau kembali?

0 komentar:

Posting Komentar